mahasiswa PGSD Universitas muhammadiyah A.R fachruddin
Ketika Influencer Lebih Dipercaya Ketimbang Realitas
Minggu, 6 Juli 2025 17:44 WIB
Influencer di media sosial membentuk hiperrealitas di kalangan mahasiswa, mempengaruhi pola konsumsi dan persepsi terhadap realitas kehidupan.
Dalam era digital yang terus berkembang pesat, media sosial telah menjadi ruang utama dalam membentuk budaya, tren, dan pola pikir masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa Generasi Z. Platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai ladang pengaruh yang kuat melalui kehadiran para influencer.
Individu yang memiliki jutaan pengikut ini kini memainkan peran penting dalam menanamkan nilai konsumtif, citra ideal, dan standar keberhasilan yang serba instan. Fenomena ini menciptakan realitas baru hiperrealitas di mana representasi visual dan narasi influencer terasa lebih nyata dan menarik dibandingkan kehidupan sehari-hari yang otentik.
Di sisi lain, perubahan ini turut berdampak pada aspek spiritual dan keberagamaan masyarakat, termasuk bagaimana dakwah Islam disampaikan dan diterima. Media digital kini menjadi jembatan bagi para dai untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara lebih luas dan efektif.
Dakwah tak lagi terbatas oleh ruang fisik, melainkan dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat secara instan melalui konten-konten daring. Efektivitas dakwah digital bergantung pada intensitas keterpaparan audiens dan kemampuannya menginternalisasi pesan keislaman yang disampaikan.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pengaruh influencer menciptakan hiperrealitas yang menggeser persepsi mahasiswa terhadap realitas konsumsi dan keberhasilan, serta mengeksplorasi peran dakwah digital sebagai respons terhadap arus budaya populer yang semakin dominan.
Dalam era yang semakin digital ini memberikan setiap orang kemudahan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain melalui platform media sosial manapun. Menurut (Elnino et al., 2020) dalamKemajuan teknologi seperti ini memudahkan kita untuk berkomunikasi dan untuk mengakses internet dengan cepat dimanapun dan kapanpun.
Disisi lain dalam era digital saat ini, peran influencer telah menjadi semakin dominan dalam membentuk budaya dan trend di kalangan mahasiswa. Influencer sendiri merupakan individu yang memiliki pengaruh signifikan di media sosial, seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan platform lainnya.
Mereka memiliki jumlah pengikut yang besar dan aktif, yang memungkinkan mereka untuk mempengaruhi pendapat, perilaku, dan keputusan pembelian suatu produk pengikut mereka. Influencer seringkali memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu, seperti fashion, kecantikan, makanan, perjalanan, atau gaya hidup, dan mereka membagikan konten yang relevan denganbidang spesialisasi mereka.
Melalui konten-konten yang mereka bagikan, seperti foto, video, atau posting blog.Influencer menciptakan citra yang menarik dan diinginkan, yang sering kali mencakup gaya hidup, produk-produk tertentu, atau pengalaman yang diidealkan. Dengan memamerkan gaya hidup mereka, konsumsi barang-barang, dan pengalaman yang diidealkan, mereka menciptakan citra yang menggoda bagi para pengikutnya melalui endorse atau promosi yang mereka lakukan dengan cara bekerja sama dengan suatu brand.
Hal tersebut tidak hanya mempengaruhi pola pikir dan perilaku mahasiswa, tetapi juga memperkuat budaya konsumerisme dan narasi tentang keberhasilan yang serba instan. Fenomena masyarakat konsumeris tersebuter jadi karena adanya perubahan mendasar berkaitan dengan cara-cara orang mengekspresikan diri dalam gaya hidupnya.
Di era yang serba digital saat ini influencer seakan menjadi kiblat bagi para mahasiswa dalam membeli suatu produk fashion maupun kecantikan, hadirnya peran review produk yang dilakukan oleh influencer dapat mempengaruhi pemikiran mahasiswa dalam membeli suatu produk tertentu.
Para mahasiswa ini cenderung membeli suatu produk berdasarkan penilaian yang diberikan influencer pada produk tersebut. Apabila suatu produk atau barang mendapatkan penilaian bagus, mahasiswa akan mempercayai produk atau barang tersebut akan bagus dipakai dirinya sendiri, bahkan melebihi ekspektasi mereka.
Dengan kehadiran influencer di berbagai platform media sosial, platform tersebut akhirnya tidak lagi memperlihatkan realitas sejati, melainkan telah menjadi realitas alternatif yang terpisah. Bahkan, apa yang terlihat di media sosial kadang terasa lebih nyata daripada kehidupan sehari-hari.
Realitas ini merupakan hasil dari proses simulasi, di mana representasi influencer di media sosial telah dihasilkan dan disebarkan kembali sehingga menjadi realitas tersendiri yang kadang-kadang bertentangan dengan realitas asli. Simulacra dijelaskan sebagai representasi tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas sebenarnya, sehingga menyebabkan realitas yang sebenarnya menjadi berbelok dan ditutupi dari acuannya.
Kemudian, setelah simulasi dan simulacra, terdapat konsep hiperrealitas yang didefinisikan sebagai bentuk realitas yang lebih nyata daripada realitas sebenarnya, bahkan dianggap lebih tinggi dari realitas itu sendiri. Menurut Maheswari (2023) tentang penelitian mengenai Hiperealitas Media Sosial Instagram pun menjelaskan bahwasaat ini di era digitalisasi, media sosial menjadi pengaruh besar terhadap maraknya budaya Hiperrealitas terhadap kehidupan Generasi Z yang mayoritas saat ini berstatus sebagai mahasiswa.
Hiperealitas ini dapat menggantikan realitas yang sebelumnya dianggap sebagai real. Hiperealitas merupakan kondisi di mana realitas tradisional runtuh karena digantikan oleh rekayasa virtual yang dianggap lebih asli daripada realitas sebenarnya. Dalam konsep hiperrealitas, unsur kepalsuan bersatu dengan unsur keaslian, masa lalu bercampur dengan masa kini, fakta terdistorsi dengan rekayasa, tanda-tanda menyatu dengan realitas, dan kebohongan bercampur dengan kebenaran.
Fenomena hiperealitas ini menyebabkan masyarakat modern cenderung berlebihan dalam konsumsi hal-hal yang mungkin kehilangan esensi yang jelas. Mahasiswa cenderung menghabiskan banyak waktu untuk mengkonsumsi konten media sosial, terutama dari influencer yang menciptakan gambaran yang ideal dari produk-produk yang mereka review. Hal ini dapat mengarah pada budaya konsumsi konten yang berlebihan, di mana mahasiswa terus-menerus mencari gambaran yang tidak realistis dan mencoba untuk menyesuaikan hidup mereka dengan standar yang ditetapkan oleh hiperealitas yang diusung oleh influencer.
Para mahasiswa membayangkan bahwa produk yang mereka beli setelah melihat konten-konten endorse influencer akan memiliki kualitas yang sangat baik dan bahkan melebihi harapan mereka. Hiperrealitas menyebabkan individu gagal melihat realita kehidupan dengan jelas, kepalsuan atau rekayasa mengalihkan pikiran mereka, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan dalam mengolah informasi. Influencer berperan sebagai agen pemasaran yang mempengaruhi persepsi mahasiswa terhadap produk tertentu.
Mahasiswa cenderung percaya bahwa produk yang direkomendasikan oleh influencer akan memberikan pengalaman yang luar biasa atau memenuhi standar yang tinggi, meskipun kenyataannya mungkin berbeda. Pengaruh ini sering kali terjadi karena representasi yang ideal dari produk dalam konten influencer. Influencer cenderung menunjukkan produk dalam cahaya yang sangat menguntungkan, menggunakan penyuntingan visual, filter, dan narasi yang menggoda untuk memikat pengikut mereka.
Mahasiswa yang terpapar dengan konten tersebut kemudian membayangkan bahwa produk tersebut akan memberikan hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari apa yang mereka lihat di media sosial.Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas mengenai hiperrealitas yang sering terjadi pada masyarakat masa kini. Pesatnya perkembangan informasi dan teknologi di dunia menyebabkan luasnya ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, termasuk dakwah Islam, munculnya metode konsep baru dan istilah baru dalam keilmuan dan pengetahuam dakwah merupakan sebab dan upaya keilmuan dakwah untuk mengimbangi tantangan perkembangan zaman tak terbendung dan semakin kompleks.
Kegiatan dakwah menjadi pondasi awal bagi menyebarnya agama Islam. tanpa adanya dakwah, Islam tidak akan tersebar dan tidak dikenal oleh masyarakat umum dan masyarakat muslim pada khususnya, Islam juga senantisa menebarkan kebaikan dan mendoktrin bahkan sampai mewajibkan pada umatnya untuk berbuat baik dan mencegah kepada keburukan serta menyeru kepada seruan kebaikan,memiliki ilmu pengetahuan dan berakhlak terpuji. Dengan demikian sangat sesuai jika Islam disebut agama dakwah.
Oleh karena itu, Islam dan dawah tidak dapat dipisahkan, Islam mewajibkan untuk berdakwah agar ajarannya tersampaikan dan dakwah butuh Islam sebagai pondasinya.Dakwah menggunakan internet menjadi pilihan masyarakat di era moderen, media dapat memudahkan mereka untuk bebas mencari materi dakwah yang di sukai. Segmentasi yang luas merupakan cara dari variatifnya media dalam menyampaikan pesan, sehinga ummat islam mendapatkan manfaat untuk kepentingan islam, silaturahmi, dan kajian keilmuan.
Dengan demikian efektifitas media dakwah ini sangat penting(urgent) dalam menilai dan mengukur seberapa jauh tingkat pencapaian kegiatan yang di lakukan oleh para pelaku dakwah.Sehingga bentuk dari efektifitas media dakwah itu dapat dilihat dari frekuensi, intensitas pengguna terhadap media, kemudian mengamalkanisi pesan yang disampaikan terkait kajian dakwah yang ada, dan ini yang dimaksud terpaan media dakwah yang efektif.
Dalam era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang dominan bagi terbentuknya pola pikir dan perilaku konsumtif, khususnya di kalangan mahasiswa. Peran influencer sebagai agen pemasaran sangat signifikan dalam menciptakan citra ideal melalui konten visual dan narasi yang menggoda, sehingga membentuk hiperrealitas realitas virtual yang dianggap lebih nyata dari kenyataan sebenarnya.
Fenomena ini berpengaruh terhadap cara mahasiswa memilih dan menilai suatu produk, serta bagaimana mereka memaknai keberhasilan dan gaya hidup. dakwah Islam juga mengalami transformasi dalam penyampaian pesan keagamaannya melalui media digital. Keberadaan dakwah online menjadi alternatif yang relevan dan efektif dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman di tengah arus informasi yang begitu masif dan cepat.
Dakwah digital memberikan peluang bagi umat Islam untuk tetap terhubung, memperdalam ilmu agama, dan menjaga akhlak mulia di tengah pengaruh budaya populer yang semakin kuat. Dengan demikian, diperlukan kesadaran kritis dari mahasiswa untuk memilah informasi dan memaknai konten media sosial secara bijak, serta mendekatkan diri pada nilai-nilai spiritual yang dapat membentengi diri dari pengaruh negatif hiperrealitas.
Ardinov, A. Z. 2023. Video Influencer Sebagai Preferensi Konsumsi Kecantikan Pada Generasi Z Di Social Commerce Tiktok .(Bachelor's thesis, Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta). https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/75650
Anggraini, D. (2019). Efektivitas Media Sosial Intsagram Dalam Penyampaian Pesan Dakwah (Studi Pada Akun Instagram @islamdakwahcom). Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung.
https://eproceeding.isibali.ac.id/index.php/sandi-dkv/article/view/102
Milenkova, V., & Lendzhova, V. (2021). Digital Citizenship and Digital Literacy in the Conditions of Social Crisis. MDPI, 10(40). https://doi.org/10.3390/computers10

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Ketika Influencer Lebih Dipercaya Ketimbang Realitas
Minggu, 6 Juli 2025 17:44 WIB
Menyusun Daftar Pustaka untuk Skripsi, Langkah Mudah bagi Mahasiswa Pemula
Minggu, 15 Juni 2025 22:02 WIBArtikel Terpopuler